Booming Facebook, Booming Reuni
Ini semua gara-gara Facebook.
Hebat
betul media sosial yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan
saja, teman sekolah, teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih, mantan
teman satu kantor, sanak saudara, yang sudah puluhan tahun tak berjumpa,
yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam hitungan minggu atau
bulan saja, sudah ditemukan, bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar
sebuah keajaban dunia maya!
Booming
Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni, sebab pertemuan
di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu pada teman di masa
lalu. Beragam undangan reunipun berdatangan, dari reuni SD hingga reuni kantor.
Sayangnya tidak seluruh undangan reuni itu bisa kita hadiri karena
berbagai alasan.
Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni: perasaan bahagia ketika rindu terobati, saat akhirnya dapat berjumpa lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke masa muda, saat kita masih sekolah dulu.
Ah asyiknya...
Tak menghadiri reuni sebab miskin
Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni: perasaan bahagia ketika rindu terobati, saat akhirnya dapat berjumpa lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru yang sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke masa muda, saat kita masih sekolah dulu.
Ah asyiknya...
Tak menghadiri reuni sebab miskin
Dalam
sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat obrolan serius
dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu seorang laki-laki yang
usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku. Pekerjaan sehari-harinya
adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios kecil di pinggir jalan raya di
kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku itu Fahmi.
Dengan
pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat keluarganya (istri
dan ketiga anaknya) hidup nyaman berkecukupan secara materi. Itu terlihat dari
rumah beserta isinya yang sangat sederhana dan terkesan seadanya. Dan di sini,
di atas sehelai karpet di ruang keluarga yang sempit, kami berbincang hangat
tentang segala hal, maklum sudah lama tidak bertemu.
Kebetulan
saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya menyampaikan
rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang akan dilaksanakan
selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi hanya terdiam dan tampak
tercenung. Tadinya saya tidak terlalu memperhatikan perubahan air mukanya.
Namun setelah mendengarkan kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup
lama
"Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun,
sebab aku miskin."
Kata-kata
yang keluar dari mulutnya terdengar begitu lirih dan sedih. Saya terhenyak
mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan kalimatnya.
"Aku
malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses"
"Apa
hubungannya reuni dengan kaya-miskin? Ayolah datang! Yang penting
silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya apakah kita
ini kaya atau miskin!", bantahku. Bantahan yang aku tahu terdengar sangat
klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh.
Fahmi
hanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. "Aku nggak akan
datang". Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak
dilanjutkan lagi sampai saya dan suami pamit pulang.
Pertanyaan-pertanyaan yang membuat rikuh...
Pertanyaan-pertanyaan yang membuat rikuh...
Apa
yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali berjumpa dengan
teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu? Apakah pertanyaan seputar: Sekarang
tinggal dimana? Sudah married? Anaknya sudah berapa?
Mungkin
terdengar seperti pertanyaan biasa saja, basa-basi normal yang acap kali
terlontar dalam setiap pergaulan. Namun bahkan pertanyaan sesederhana itu
menjadi sangat sensitif bagi sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan
jodohnya sementara usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum
mendapatkan keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan pertanyaan
soal kaya atau miskin (yang mana pertanyaan seperti ini mustahil dilontarkan
dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan memiliki keturunan saja sudah
cukup membuat sebagian orang enggan menghadiri acara reuni, karena merasa malu
dan minder.
Katakanlah
pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu masuklah kita pada
pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal pekerjaan, soal karir, dsb. Nah
disinilah letak permasalahannya. Ketika pembicaraan sudah menyangkut
masalah-masalah itu, akan ada teman-teman yang merasa sangat enggan untuk
menjawab, karena merasa minder, sebab pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau
bergengsi, tak terlampau berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk
dibanggakan. Beberapa teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri
reuni, daripada harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu.
Kadang Reuni Memang menjadi Ajang Pamer (Ukuran
Kesuksesan Kaum Hedonis : HARTA)
Saya
tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya hadiri, karena
saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah payah menyelenggarakan
acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati teman-teman saya. Lagi
pula semua acara reuni yang saya hadiri, jauh dari kesan hedonik.
Namun
di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan sangat megah
di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan minuman serba mewah
dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang reuni. Oh ya tentu saja mereka
yang hadir adalah orang-orang yang sudah sukses, sudah kaya raya, atau sudah
menjadi pejabat atau tokoh ternama di negeri ini. Terlihat dari penampilan
mereka yang serba gemerlap , juga terlihat dari deretan mobil mewah yang
terparkir di pelataran hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian
berseliweran di sekitar area reuni.
Apakah
mereka teman-teman kita? Ya... tentu saja, mereka adalah teman-teman kita,
teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah teman sebangku kita, yang
terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara duniawi. Perkara mereka
telah terlihat bak penduduk negeri langit, jangan lupa sudah berapa masa kita
tak berjumpa dengan mereka? Jangan lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui
membuat manusia berubah. Tak hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun
bisa saja berganti.
Tak
usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan teman karib
kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah, menceritakan dengan
penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani, tatkala teman-teman yang lain
memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan dengan sumringah perjalanan-perjalanan
bisnisnya ke kota-kota besar dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya
yang berharga puluhan juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita
membanggakan anak kita yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika,
atau rasa syukur karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada
manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik.
Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung
Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung
Lalu
bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses? Bagaimana dengan teman-teman
yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin eceran dan tambal
ban seperti Fahmi? Yang tinggal di rumah kontrakan terselip di pelosok gang
sempit yang kumuh dan pengap? Yang hanya memiliki kendaraan sepeda motor
cicilan? Apakah orang-orang seperti Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk
hadir ke acara reuni semegah itu? Fahmi
tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang juga tak
cukup memiliki nyali untuk melakukannya.
Saya
sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu, pembicaraan
tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya akan melukai
perasannya. Fahmi mungkin tidak
merasa iri dengan keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak merasa
sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba berkecukupan, sementara
dia serba berkekurangan?
Saya
jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi, hanya
dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat dan
seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain? Mengapa tidak ada
kabar beritanya?
Tadinya
saya berpikir, mereka mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun
melihat Fahmi, saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang
tidak hadir itu memiliki alasan yang sama dengan Fahmi: merasa malu menghadiri
reuni karena miskin.
Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial
Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial
Saya
tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar teman-teman saya tidak berkelakuan
aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi materi dan status sosial di
masyarakat. Hanya segelintir saja yang bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa
dibilang norak dan berlebihan dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat
tidak empatif terhadap orang-orang yang kesusahan.
Bagi
orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama sekali bukan ukuran
kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi terjalinnya sebuah pertemanan.
Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah teman, tak boleh ada yang
menghalangi, apalagi hanya sekadar harta yang sifatnya sementara.
Saya
hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah adalah
segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang yang paling
penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang seperti inilah yang
membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi enggan hadir, dan
menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai.
Sementara
pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni karena faktor
ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari kami adalah
orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang sangat bernilai
dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya karena ketiadaan harta,
karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu, kami hanya ingin mendengar
kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh semangat dalam mengarungi kehidupan
ini. Kami hanya ingin berteman denganmu, selamanya. Selebihnya, tak penting
lagi.
Sumber: http://m.kompasiana.com/post/read/577214/2/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin.html
Sumber: http://m.kompasiana.com/post/read/577214/2/tak-kuhadiri-reuni-sebab-aku-miskin.html