TOUCHING STORY FROM ITALY

Dibalik cerita Pedonor sumsum tulang belakang dan pelaku pemerkosaan.

Di suatu Koran Itali, muncullah berita pencarian orang yang istimewa.

17 Mei 1992 di parkiran mobil ke 5 Wayeli (nama kota , tak tahu aku bener ngak nulisnya), seorang wanita kulit putih diperkosa oleh seorang kulit hitam. Tak lama kemudian, sang wanita melahirkan seorang bayi perempuan berkulit hitam.
Ia dan suaminya tiba-tiba saja menanggung tanggung jawab untuk memelihara anak ini.
Sayangnya,sang bayi kini menderita leukemia kanker darah.
Dan ia memerlukan transfer sumsum tulang belakang segera.
Ayah kandungnya merupakan satu-satunya penyambung harapan hidupnya.
Berharap agar pelaku pada waktu itu saat melihat berita ini, bersedia menghubungi Dr. Adely di RS Elisabeth.

Berita pencarian orang ini membuat seluruh masyarakat gempar.
Setiap orang membicarakannya.
Masalahnya adalah apakah orang hitam ini berani muncul.
Padahal jelas, ia akan menghadapi kesulitan besar.
Jika ia berani muncul, ia akan menghadapi masalah hukum, dan ada kemungkinan merusak kehidupan rumah tangganya sendiri.
Jika ia tetap bersikeras untuk diam, ia sekali lagi membuat dosa yang tak terampuni.
Kisah ini akan berakhir bagaimanakah?

Seorang anak perempuan yang menderita leukimia ternyata menyimpan suatu kisah yang memalukan di suatu perkampungan Itali.
Martha,35 thn, adalah wanita yang menjadi pembicaraan semua orang.
Ia dan suaminya Peterson adalah warga kulit putih, tetapi di antara kedua anaknya, ternyata terdapat satu yang berkulit hitam.
Hal ini menarik perhatian setiaporang disekitar mereka untuk bertanya.
Martha hanya tersenyum kecil berkata pada mereka bahwa nenek berkulit hitam, dan kakeknya berkulit putih, maka anaknya Monika mendapat kemungkinan seperti ini.

Musim gugur 2002, Monika yang berkulit hitam terus menerus mengalami demam tinggi.
Terakhir, Dr. Adely memvonis Monika menderita leukimia.
"Harapan satu-satunya hanyalah mencari pedonor sumsum tulang belakang yang paling cocok untuknya."
Dokter menjelaskan lebih lanjut.
"Diantara mereka yang ada hubungan darah dengan Monika merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan pedonor tercocok.
Harap seluruh anggota keluarga kalian berkumpul untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang."
Raut wajah Martha berubah, tapi tetap saja seluruh keluarga menjalani pemeriksaan.
Hasilnya tak satupun yang cocok.
Dokter memberitahu mereka, dalam kasus seperti Monika ini, mencari pedonor yang cocok sangatlah kecil kemungkinannya.
Sekarang hanya ada satu cara yang paling manjur, yaitu Martha dan suaminya kembali mengandung anak lagi.
Dan mendonorkan darah anak untuk Monika.
Mendengar usul ini Martha tiba-tiba menjadi panik, dan berkata tanpa suara, "Tuhan..kenapa menjadi begini?"
Ia menatap suaminya, sinar matanya dipenuhi ketakutan dan putus asa.

Peterson mengerutkan keningnya berpikir.
Dr. Adely berusaha menjelaskan pada mereka, "saat ini banyak orang yang menggunakan cara ini untuk menolong nyawa para penderita leukimia, lagi pula cara ini terhadap bayi yang baru dilahirkan sama sekali tak ada pengaruhnya."
Hal ini hanya didengarkan oleh pasangan suami istri tersebut, dan termenung begitu lama.
Terakhir mereka hanya berkata, "Biarkan kami memikirkannya kembali."

Malam kedua, Dr. Adely tengah bergiliran tugas, tiba-tiba pintu ruang kerjanya terbuka, pasangan suami-istri tersebut.
Martha menggigit bibirnya keras, suaminya Peterson, menggenggam tangannya, dan berkata serius pada dokter.
"Ada suatu hal yang perlu kami beritahukan padamu. Tapi harap Anda berjanji untuk menjaga kerahasiaan ini, karena ini merupakan rahasia kami suami-istri selama beberapa tahun."
Dr. Adely menganggukkan kepalanya.
Lalu mereka menceritakan: "Itu adalah 10 tahun lalu, dimana Martha ketika pulang kerja telah diperkosa seorang remaja berkulit hitam. Saat Martha sadar, dan pulang ke rumah dengan tergesa-gesa, waktu telah menunjukkan pukul 1 malam. Waktu itu aku bagaikan gila keluar rumah mencari orang hitam itu untuk membuat perhitungan. Tapi telah tak ada bayangan orang satupun. Malam itu kami hanya dapat memeluk kepala masing-masing menahan kepedihan. Sepertinya seluruh langit runtuh."
Bicara sampai sini, Peterson telah dibanjiri air mata, Ia melanjutkan kembali.
"Tak lama kemudian Martha mendapati dirinya hamil. Kami merasa sangat ketakutan, kuatir bila anak yang dikandungnya merupakan milik orang hitam tersebut. Martha berencana untuk menggugurkannya, tapi aku masih pengharapkan keberuntungan, mungkin anak yang dikandungnya adalah bayi kami. Begitulah, kami ketakutan menunggu beberapa bulan. Maret 1993, Martha melahirkan bayi perempuan, dan ia berkulit hitam. Kami begitu putus asa, pernah terpikir untuk mengirim sang anak ke panti asuhan.
Tapi mendengar suara tangisnya, kami sungguh tak tega. Terlebih lagi bagaimanapun Martha telah mengandungnya, ia juga merupakan sebuah nyawa. Aku dan Martha merupakan warga Kristen yang taat, pada akhirnya kami memutuskan untuk memeliharanya, dan memberinya nama Monika."

Mata Dr. Adely juga digenangi air mata, pada akhirnya ia memahami mengapa bagi kedua suami istri tersebut kembali mengandung anak merupakan hal yang sangat mengkuatirkan.
Ia berpikir sambil mengangguk-anggukkan kepala, Dr. Adely berkata "Memang jika demikian, kalian melahirkan 10 anak sekalipun akan sulit untuk mendapatkan donor yang cocok untuk Monika."
Beberapa lama kemudian,ia memandang Martha dan berkata, "Kelihatannya, kalian harus mencari ayah kandung Monika. Barangkali sumsum tulangnya cocok untuk Monika. Tetapi, apakah kalian bersedia membiarkan ia kembali muncul dalam kehidupan kalian?"
Martha berkata, "Demi anak, aku bersedia berlapang dada memaafkannya. Bila ia bersedia muncul menyelamatkannya. Aku tak akan memperkarakannya." Dr. Adely merasa terkejut akan kedalaman cinta sang ibu.

Martha dan Peterson mempertimbangkannya baik-baik, sebelum akhirnya memutuskan memuat berita pencarian ini di koran dengan menggunakan nama samaran.
November 2002, di koran Wayeli termuat berita pencarian ini,seperti yang digambarkan sebelumnya.
Berita ini memohon sang pelaku pemerkosaan waktu itu berani muncul, demi untuk menolong sebuah nyawa seorang anak perempuan penderita leukimia! Begitu berita ini keluar, tanggapan masyarakat begitu menggemparkan.
Kotak surat dan telepon Dr.Adely bagaikan meledak saja, kebanjiran surat masuk dan telepon, orang-orang terus bertanya siapakah wanita ini?
Mereka ingin bertemu dengannya, berharap dapat memberikan bantuan padanya.
Tetapi Martha menolak semua perhatian mereka, ia tak ingin mengungkapkan identitas sebenarnya, lebih tak ingin lagi identitas Monika sebagai anak hasil pemerkosaan terungkap.

Seluruh media penuh dengan diskusi tentang bagaimana cerita ini berakhir

Orang hitam itu akan munculkah?
Jika orang hitam ini berani muncul, akan bagaimanakah masyarakat kita sekarang menilainya?
Akankah menggunakan hukum yang berlaku untuk menghakiminya?
Haruskah ia menerima hukuman dan cacian untuk masa lalunya, ataukah ia harus menerima pujian karena keberaniannya hari ini?

Saat itu berita pencarian juga muncul di Napulese, memporakporandakan perasaan seorang pengelola toko minuman keras berusia 30 tahun.
Ia seorang kulit hitam, bernama Ajili.
17 Mei 1992 waktu itu, ia memiliki lembaran terkelam merupakan mimpi terburuknya di malam berhujan itu.
Ia adalah sang peran utama dalam kisah ini.
Tak seorangpun menyangka, Ajili yang sangat kaya raya itu, pernah bekerja sebagai pencuci piring panggilan.
Dikarenakan orang tuanya telah meninggal sejak ia masih muda, ia yang tak pernah mengenyam dunia pendidikan terpaksa bekerja sejak dini.
Ia yang begitu pandai dan cekatan, berharap dirinya sendiri bekerja dengan giat demi mendapatkan sedikit uang dan penghargaan dari orang lain.
Tapi sialnya, bosnya merupakan seorang rasialis, yang selalu mendiskriminasikannya.
Tak peduli segiat apapun dirinya, selalu memukul dan memakinya.
17 Mei 1992, merupakan ulang tahunnya ke 20, ia berencana untuk pulang kerja lebih awal untuk merayakan hari ulang tahunnya.
Siapa menyangka, ditengah kesibukan ia memecahkan sebuah piring.
Sang bos menahan kepalanya, memaksanya untuk menelan pecahan piring.
Ajili begitu marah dan memukul sang bos, lalu berlari keluar meninggalkan restoran.
Ditengah kemarahannya ia bertekad untuk membalas dendam pada si kulit putih.
Malam berhujan lebat, tiada seorangpun lewat, dan di parkiran ia bertemu Martha.
Untuk membalaskan dendamnya akibat pendiskriminasian, ia pun memperkosa sang wanita yang tak berdosa ini.

Tapi selesai melakukannya, Ajili mulai panik dan ketakutan.
Malam itu juga Ia menggunakan uang ulang tahunnya untuk membeli tiket KA menuju Napulese, meninggalkan kota ini.
Di Napulese ia bertemu keberuntungannya.
Ajili mendapatkan pekerjaan dengan lancar di restoran milik orang Amerika.
Kedua pasangan Amerika ini sangatlah mengagumi kemampuannya, dan penikahkannya dengan anak perempuan mereka, Lina, dan pada akhirnya juga mempercayainya untuk mengelola toko mereka.

Beberapa tahun ini, ia yang begitu tangkas, tak hanya memajukan bisnis toko minuman keras ini, ia juga memiliki 3 anak yang lucu.
Dimata pekerja lainnya dan seluruh anggota keluarga, Ajili merupakan bos yang baik, suami yang baik, ayah yang baik.
Tapi hati nuraninya tetap membuatnya tak melupakan dosa yang pernah diperbuatnya.
Ia selalu memohon ampun pada Tuhan dan berharap Tuhan melindungi wanita yang pernah diperkosanya, berharap ia selalu hidup damai dan tentram.
Tapi ia menyimpan rahasianya rapat-rapat, tak memberitahu seorangpun.

Pagi hari itu, Ajili berkali-kali membolak-balik koran, ia terus mempertimbangkan kemungkinan dirinyalah pelaku yang dimaksud.
Sedikitpun ia tak pernah membayangkan bahwa wanita malang itu mengandung anaknya, bahkan menanggung tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga anak yang awalnya bukanlah miliknya.
Hari itu, Ajili beberapa kali mencoba menghubungi no.Telepon Dr.Adely.
Tapi setiap kali, belum sempat menekan habis tombol telepon, ia telah menutupnya kembali.
Hatinya terus bertentangan, bila ia bersedia mengakui semuanya, setiap orang kelak akan mengetahui sisi terburuknya ini, anak-anaknya tak akan lagi mencintainya, ia akan kehilangan keluarganya yang bahagia dan istrinya yang cantik.
Juga akan kehilangan penghormatan masyarakat disekitarnya.
Semua yang ia dapatkan dengan ditukar kerja kerasnya bertahun-tahun.
Malam itu, saat makan bersama, seluruh keluarga mendiskusikan kasus Martha.
Sang istri, Lina berkata, "Aku sangat mengagumi Martha. Bila aku diposisinya, aku tak akan memiliki keberanian untuk memelihara anak hasil perkosaan hingga dewasa. Aku lebih mengagumi lagi suami Martha ia sungguh pria yang patut dihormati, tak disangka ia dapat menerima anak yang demikian."
Ajili termenung mendengarkan pendapat istrinya, dan tiba-tiba mengajukan pertanyaan, "Kalau begitu, bagaimana kau memandang pelaku pemerkosaan itu?"
"Sedikitpun aku tak akan memaafkannya! Waktu itu ia sudah membuat kesalahan, kali ini juga hanya dapat meringkuk menyelingkupi dirinya sendiri, ia benar-benar begitu rendah, begitu egois, begitu pengecut! Ia benar-benar seorang pengecut!", demikian istrinya menjawab dengan dipenuhi api kemarahan.
Ajili mendengarkan saja, tak berani mengatakan kenyataan pada istrinya.
Malam itu, anaknya yang baru berusia 5 tahun begitu rewel tak bersedia tidur, untuk pertama kalinya Ajili kehilangan kesabaran dan menamparnya.
Sang anak sambil menangis berkata :"Kau ayah yang jahat, aku tak mau peduli kamu lagi. Aku tak ingin kau menjadi ayahku".

Hati Ajili bagai terpukul keras mendengarnya, ia pun memeluk erat-erat sang anak dan berkata, "Maaf, ayah tak akan memukulmu lagi. Ayah yang salah, maafkan papa ya."
Sampai sini, Ajili pun tiba-tiba menangis.
Sang anak terkejut dibuatnya, dan buru-buru berkata padanya untuk menenangkan ayahnya, "Baiklah, kumaafkan. Guru TK ku bilang, anak yang baik adalah anak yang mau memperbaiki kesalahannya."

Malam itu, Ajili tak dapat terlelap, merasa dirinya bagaikan terbakar dalam neraka.
Dimatanya selalu terbayang kejadian malam berhujan deras itu, dan bayangan sang wanita.
Ia sepertinya dapat mendengarkan jerit tangis wanita itu.
Tak henti-hentinya ia bertanya pada dirinya sendiri, "Aku ini sebenarnya
orang baik, atau orang jahat?"
Mendengar bunyi napas istrinya yang teratur, ia pun kehilangan seluruh keberaniannya untuk berdiri.

Hari kedua, ia hampir tak tahan lagi rasanya.
Istrinya mulai merasakan adanya ketidakberesan pada dirinya, memberikan perhatian padanya dengan menanyakan apakah ada masalah?
Dan ia mencari alasan tak enak badan untuk meloloskan dirinya.
Pagi hari di jam kerja, sang karyawan menyapanya ramah, "Selamat pagi, manager!"
Mendengar itu, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat pasi, dalam hati dipenuhi perasaan tak menentu dan rasa malu.
Ia merasa dirinya hampir menjadi gila saja rasanya.

Setelah berhari-hari memeriksa hati nuraninya, Ajili tak dapat lagi terus diam saja, iapun menelepon Dr. Adely.
Ia berusaha sekuat tenaga menjaga suaranya supaya tetap tenang, "Aku ingin mengetahui keadaan anak malang itu."
Dr. Adely memberitahunya, keadaan sang anak sangat parah.
Dr.Adely menambahkan kalimat terakhirnya berkata, "Entah apa ia dapat menunggu hari kemunculan ayah kandungnya?"
Kalimat terakhir ini menyentuh hati Ajili yang paling dalam, suatu perasaan hangat sebagai sang ayah mengalir keluar, bagaimanapun anak itu juga merupakan darah dagingnya sendiri!
Ia pun membulatkan tekad untuk menolong Monika.
Ia telah melakukan kesalahan sekali, tak boleh kembali membiarkan dirinya meneruskan kesalahan ini.
Malam hari itu juga, ia pun mengobarkan keberaniannya sendiri untuk memberitahu sang istri tentang segala rahasianya.
Terakhir ia berkata, "Sangatlah mungkin bahwa aku adalah ayah Monika. Aku harus menyelamatkannya."

Lina sangat terkejut, marah dan terluka, mendengar semuanya, ia berteriak marah, "Kau PEMBOHONG!"
Malam itu juga ia membawa ketiga anak mereka, dan lari pulang ke rumah ayah ibunya.
Ketika ia memberitahu mereka tentang kisah Ajili, kemarahan kedua suami-istri tersebut dengan segera mereda.
Mereka adalah dua orang tua yang penuh pengalaman hidup, mereka menasehatinya, "Memang benar, kita patut marah terhadap segala tingkah laku Ajili di masa lalu. Tapi pernahkah kamu memikirkan, ia dapat mengulurkan dirinya untuk muncul, perlu berapa banyak keberanian besar. Hal ini membuktikan bahwa hati nuraninya belum sepenuhnya terkubur. Apakah kau mengharapkan seorang suami yang pernah melakukan kesalahan tapi kini bersedia memperbaikidirinya Ataukah seornag suami yang selamanya menyimpan kebusukan ini di dalamnya?"
Mendengar ini Lina terpekur beberapa lama.

Pagi-pagi di hari kedua, ia langsung kembali ke sisi Ajili, menatap mata sang suami yang dipenuhi penderitaan, Lina menetapkan hatinya berkata, "Ajili, pergilah menemui Dr. Adely ! Aku akan menemanimu!"

3 Februari 2003, suami istri Ajili, menghubungi Dr. Adely.
8 Februari, pasangan tersebut tiba di RS Elisabeth, demi untuk pemeriksaan DNA Ajili.
Hasilnya Ajili benar-benar adalah ayah Monika.
Ketika Martha mengetahui bahwa orang hitam pemerkosanya itu pada akhirnya berani memunculkan dirinya, ia pun tak dapat menahan air matanya.
Sepuluh tahun ini ia terus memendam dendam kesumat terhadap Ajili, namun saat ini ia hanya dipenuhi perasaan terharu.

Segalanya berlangsung dalam keheningan.
Demi untuk melindungi pasangan Ajili dan pasangan Martha, pihak RS tidak
mengungkapkan dengan jelas identitas mereka semua pada media, dan juga tak bersedia mengungkapkan keadaan sebenarnya, mereka hanya memberitahu media bahwa ayah kandung Monika telah ditemukan.

Berita ini mengejutkan seluruh pemerhati berita ini.
Mereka terus-menerus menelepon, menulis surat pada Dr. Adely, memohon untuk dapat menyampaikan kemarahan mereka pada orang hitam ini, sekaligus penghormatan mereka padanya.
Mereka berpendapat, "Barangkali ia pernah melakukan tindak pidana, namun saat ini ia seorang pahlawan!"

10 Februari, kedua pasangan Martha dan suami memohon untuk dapat bertemu muka langsung dengan Ajili.
Awalnya Ajili tak berani untuk menemui mereka, namun pada permohonan ketiga Martha, iapun menyetujui hal ini.

18 Februari, dalam ruang tertutup dan dirahasiakan di RS, Martha bertemu langsung dengan Ajili.
Ajili baru saja memangkas rambutnya, saat ia melihat Martha, langkah kakinya terasa sangatlah berat, raut wajahnya memucat.
Martha dan suaminya melangkah maju, dan mereka bersama-sama saling menjabat tangan masing-masing, sesaat ketiga orang tersebut diam tanpa suara menahan kepedihan, sebelum akhirnya air mata mereka bersama-sama mengalir.
Beberapa waktu kemudian, dengan suara serak Ajili berkata, "Maaf...mohon maafkan aku! Kalimat ini telah terpendam dalam hatiku selama 10 tahun. Hari ini akhirnya aku mendapat kesempatan untuk mengatakannya langsung kepadamu."
Martha menjawab :"Terima kasih kau mau muncul. Semoga Tuhan memberkati, sehingga sumsum tulang belakangmu dapat menolong putriku".

19 Februari, dokter melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang Ajili.
Untungnya, sumsum tulang belakangnya sangat cocok bagi Monika.
Sang dokter berkata dengan antusias : "Ini suatu keajaiban!"

22 Februari 2003, sekian lama harapan masyarakat luas akhirnya terkabulkan.
Monika menerima sumsum tulang belakang Ajili, dan pada akhirnya Monika telah melewati masa kritis.
Satu minggu kemudian, Monika boleh keluar RS dengan sehat walafiat.

Martha dan suami memaafkan Ajili sepenuhnya, dan secara khusus mengundang Ajili dan Dr. Adely datang kerumah mereka untuk merayakannya.
Tapi hari itu Ajili tidak hadir, ia memohon Dr. Adely membawa suratnya bagi mereka.
Dalam suratnya ia menyatakan penyesalan dan rasa malunya berkata, "Aku tak ingin kembali mengganggu kehidupan tenang kalian. Aku berharap Monika berbahagia selalu hidup dan tumbuh dewasa bersama kalian. Bila kalian menghadapi kesulitan bagaimanapun, harap hubungi aku, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu kalian".
"Saat ini juga, aku sangat berterima kasih pada Monika, dari dalam lubuk hatiku terdalam, dialah yang memberiku kesempatan untuk menebus dosa. Dialah yang membuatku dapat memiliki kehidupan yang benar-benar bahagia di separoh usiaku selanjutnya. Ini adalah hadiah yang ia berikan padaku !"

(Italia post)

Aku Menangis untuk Adikku 6 Kali

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil.
Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit.
Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.
Ayah segera menyadarinya..
Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?", beliau bertanya.
Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara.
Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi.
Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami.
Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun.
Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.
Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin.
Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku.
Waktu itu, adikku berusia 8 tahun.
Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten.
Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi.
Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..."
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang.
Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering.
Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas
bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, " Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana !"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?
Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir.
Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku.
Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.
Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi.
Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20, Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana.
Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"
Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku.
Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.
Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya.
"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23, Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota .
Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus
mengerjakan apa.
Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya.
Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya.
Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa
kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
"Pikirkan kakak ipar, ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mataku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang terbata-bata:
"Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?"
Adikku menggenggam tanganku.
Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu.
Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?"
Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan
tidak dapat kuingat.
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjala n selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya
bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang kepadanya aku paling berterima kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six times"

PELACUR

Dengan tubuhnya yang gempal perempuan itu memecah batu, dengan tubuhnya yang tebal ia seorang pelacur.

Namanya Nur Hidayah, 35 tahun, kelahiran Tulungagung, Jawa Timur. Ia seorang istri yang ditinggalkan suami (meskipun mereka belum bercerai), ia ibu dari lima anak yang praktis yatim.

Tiap pagi, setelah Tegar, anaknya yang berumur enam tahun, berangkat ke sekolah dengan ojek, Nur datang ke tempat kerjanya. Di sana ia mengangkut batu, kemudian memecah-mecahnya, untuk dijual ke pemborong bangunan. Nova, empat tahun, anak bungsunya, selalu dibawanya. Nur bekerja sekitar lima jam sampai tengah hari.

Lalu ia pulang. Tegar akan sudah kembali ke rumah kontrakan mereka, dan Nur bisa bermain dengan kedua anak itu. Sampai pukul tiga sore.
Matahari sudah mulai turun ketika Nur membawa kedua anaknya ke tempat penitipan milik Ibu In, yang ia bayar Rp 20 ribu sehari. Lalu ia berdandan: memasang lipstik tebal, berpupur, mengenakan baju terbaik. Lepas magrib, ia naik ojek dari kampung Mujang itu ke Gunung Bolo, 45 menit jaraknya dengan sepeda motor.
Di kegelapan malam di tempat tinggi yang jadi kuburan Cina itu, Nur menjajakan seks. Ia menjual tubuhnya.

Ia tak memilih pekerjaan itu. Sutrisno, suaminya, yang menikah dengan perempuan lain, tak memberinya nafkah. Ia bertemu dengan lelaki itu pada 1992 dalam bus ke Trenggalek. Mereka saling tertarik, dan Sutrisno menemukan lowongan buat Nur di Pabrik Rokok ”Semanggi” di Kediri. Pekerjaan mengelinting sigaret itu hanya dijalaninya dua bulan. Nur hamil. Ia harus menikah.

Ia pun jadi istri seorang suami yang menghabiskan waktunya di meja judi dan botol ciu. Tak ada penghasilan. Tak ada pengharapan. Setelah anak yang kelima lahir, dalam keadaan putus asa, Nur ikut ajakan tetangganya, seorang pelacur di Gunung Bolo. Ia bergabung dengan sekitar 80 pekerja seks di tempat itu, dan jadi sahabat Mira, yang lebih muda setahun tapi sudah hampir separuh usianya menyewakan kelamin. Mereka menghabiskan malam mereka mencari konsumen di pekuburan Cina itu. Tarif: Rp 10 ribu sepersetubuhan.

”Pernah ada pengalaman yang membuat Mbak Nur senang, selama ini, ketika melayani tamu?”
”Ah, ya ndak ada,” jawabnya.

Tapi suara itu tak getir. Nur, juga Mira, bukanlah keluh yang pahit. Dalam film dokumenter yang dibuat Ucu Agustin—salah satu dari Pertaruhan, empat karya dokumenter tentang perempuan yang layak beredar luas di Indonesia kini—kedua pelacur itu berbicara tentang hidup mereka seperti seorang pedagang kecil (atau guru mengaji yang miskin) berbicara tentang kerja mereka sehari-hari.

Bahkan dengan kalem mereka, sebagai undangan Kalyana Shira Foundation yang memproduksi Pertaruhan, duduk bersama peserta Jakarta International Film Festival di sebuah kafe di Grand Indonesia—seakan-akan mall megah itu bukan negeri ajaib dalam mimpi seorang Tulungagung. Ketika saya menemui mereka di tempat minum Goethe Haus pekan lalu, Mira duduk seperti di warung yang amat dikenalnya, dengan rokok yang terus menyala (tapi ia menolak minum bir), dan Nur memeluk Nova yang dibawanya ikut ke Jakarta.

Haruskah Mira, Nur, merasa lain: nista? Produser, sutradara, dan aktivis perempuan yang menjamu mereka tak membuat para pelacur itu asing dan rikuh. Bahkan Tegar dan Nova diurus panitia seakan-akan kemenakan sendiri—dan dengan kagum saya melihat sebuah generasi Indonesia yang menolak sikap orang tua dan guru agama mereka. Mira dan Nur tak akan mereka kirim ke neraka, di mana pun neraka itu. Ucu Agustin, 32 tahun, sutradara dokumenter ini, telah berjalan jauh. Ia lulus dari IAIN pada tahun 2000 setelah enam tahun di pesantren Darunnajah di Jakarta, di mana murid perempuan bahkan dilarang membaca majalah Femina. Ia kini tahu, agama tak berdaya menghadapi Nur dan kaumnya.

Di Tulungagung terdapat setidaknya 16 tempat pelacuran. Ada dua yang legal, yang tiap Ramadan harus tutup. Tapi sia-sia: di tiap bulan puasa pula para pelacur yang kehilangan kerja datang antara lain ke Gunung Bolo. Pekerja di tempat itu bertambah 50 persen.

Dan bagaimana agama akan punya arti bila tak memandang dengan hormat ke wajah Nur: seorang ibu yang mengais dari Nasib untuk mengubah hidup anak-anaknya? ”Mereka harus sekolah, mereka ndak boleh mengulangi hidup emak mereka,” Nur berkata, berkali-kali.

Dengan memecah batu ia dapat Rp 400 ribu sebulan, dengan melacur ia rata-rata dapat Rp 30 ribu semalam. Dengan itu ia bisa mengirim Tegar ke sebuah TK Katolik sambil membantu hidup anak-anaknya yang lain yang ia titipkan di rumah seorang saudara. Nur tegak di atas kakinya sendiri. Ia contoh yang baik ”dialektika” yang disebut Walter Benjamin: seorang pelacur—seorang pemilik alat produksi dan sekaligus alat produksi itu sendiri, seorang penjaja (Verkäuferin) dan barang yang dijajakan (Ware) dalam satu tubuh. Ia buruh; ia bukan.

Bagi saya ia ”Ibu Indonesia Tahun 2008”.

Setidaknya ia kisah tentang harapan dalam hidup yang remang-remang. Memang tuan dan nyonya yang bermoral mengutuknya. Memang polisi merazianya dan para preman memungut paksa uang dari jerih payah di Gunung Bolo itu. Tapi Nur tahu bagaimana tabah. Kebaikan hati bukan mustahil. Tegar diberi keringanan membayar uang sekolah di TK Katolik itu. Tiap bulan ke Gunung Bolo, seperti ke belasan tempat pelacuran di Tulungagung itu, datang tim dari CIMED, organisasi lokal yang dengan cuma-cuma memeriksa kesehatan mereka. Dan ke rumah penitipan Ibu In secara teratur datang Mbak Sri untuk membantu Tegar berbahasa Inggris dan mengerti bilangan.

Terkadang Nur berbicara tentang Tuhan (ia belum melupakan-Nya). Ia menyebut-Nya ”Yang di Atas”. Mungkin itu untuk menunjuk sesuatu yang jauh—tapi justru tak merisaukannya, karena manusia, yang di bawah, tetap berharga: bernilai dalam kerelaannya.

Goenawan Mohamad

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/15/CTP/mbm.20081215.CTP129003.id.html



Seperti lagu ini...

Ada yang benci dirinya
Ada yang butuh dirinya
Ada yang berlutut mencintanya
Ada pula yang kejam menyiksa dirinya

Ini hidup wanita si kupu-kupu malam
Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga
Bibir senyum kata halus merayu memanja
Kepada setiap mereka yang datang

Dosakah yang dia kerjakan?
Sucikah mereka yang datang?

Kadang dia tersenyum dalam tangis
Kadang dia menangis di dalam senyuman

Oh apa yang terjadi, terjadilah...
Yang dia tahu Tuhan penyayang umat-Nya
Oh apa yang terjadi, terjadilah...
Yang dia tahu hanyalah menyabung nyawa

Kasih seorang Ibu...

Ibuku hanya memiliki satu mata.
Aku benci padanya ......
Aku merasa malu dengan keadaannya.
Ia memasak untuk murid-murid dan guru-guru untuk menopang kehidupan keluargaku.

Suatu ketika saat aku masih di SD, ibu datang ke sekolah untuk menyapaku.
Aku merasa sangat malu, tega-teganya dia berbuat seperti itu padaku...
Aku mengacuhkan dia, melihat padanya dengan pandangan penuh kebencian... dan kemudian aku berlari keluar.
Esok paginya, salah seorang teman sekelasku mencemooh :”EEEE, ibumu hanya bermata satu!”
Ingin rasanya aku mengubur diri dalam tanah dan berharap agar ibuku menghilang dari dunia ini.
Aku menemuinya dan berkata,”Ibu telah membuat aku jadi bahan tertawaan, lebih baik kau mati saja!”
Ibu tidak menjawab....
Aku bahkan tidak berhenti sedetik pun untuk memikirkan apa yang telah kukatakan, begitu marahnya diriku.
Aku sama sekali tidak mempedulikan perasaannya.

Aku ingin keluar dari rumah ibu dan putus hubungan dengannya.
Oleh karena itu aku belajar sangat giat... dan akhirnya aku mendapat kesempatan untuk belajar di Singapura.
Kemudian aku menikah, membeli rumah dan berkeluarga.
Hidupku bahagia bersama istri, anak-anak dan semua kenyamanan hidup yang berhasil kuperoleh.

Kemudian pada suatu hari... tiba-tiba ibu muncul di hadapanku.
Sudah sekian lama kami tak bertemu.
Ia bahkan belum pernah bertemu dengan cucu-cucunya.
Ketika Ibu berdiri di ambang pintu, anak-anakku menertawakannya.
Segera aku membentaknya karena datang tanpa diundang.
Saya berteriak padanya,”Berani-beraninya kau datang ke rumahku dan membuat anak-anakku takut. Pergi dari sini!!! Sekarang juga!!!”
Ibu menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar, ”Oh.. Maaf.... aku salah alamat...” dan menghilang dari pandanganku.

Suatu hari aku menerima sepucuk surat undangan untuk menghadiri reuni sekolah.
Untuk mencegah agar istri dan anak-anak tidak ikut, aku berbohong bahwa aku akan mengadakan perjalanan bisnis.
Setelah selesai acara reuni, aku pergi ke gubuk tua itu karena rasa ingin tahu saja.
Tetangga memberitahu kalau ia telah meninggal.
Aku sama sekali tidak meneteskan air mata.
Kemudian mereka menyodorkan sepucuk surat yang sudah lama ibu ingin memberikannya padaku.

Anakku tercinta,
Selama ini ibu selalu merindukanmu.
Maafkan ibu karena telah datang ke Singapura dan membuat anak-anakmu takut.
Ibu senang sekali mengetahui kau akan pulang untuk reuni.
Tetapi mungkin ibu tidak akan bisa bangun dari tempat tidur untuk menemuimu.
Sekali lagi ibu minta maaf karena telah membuat kau malu sewaktu kau tumbuh dewasa.
Tahukah kau... ketika masih kecil kau mangalami kecelakaan dan kehilangan satu mata.
Sebagai seorang ibu, aku tidak tega melihat kamu harus tumbuh dewasa dengan satu mata.
Oleh karena itu aku memberimu sebelah mata milikku.
Saya sangat bangga pada putraku yang bisa melihat seluruh dunia baru ini untukku....dengan mata itu .....
Cintaku selalu untukmu...


Yang mengasihimu,

Ibu

Yang mau ikut tes masuk NUS...

Untuk NUS:

http://www.nus.edu.sg/oam/apply/catd/uee - informasi umum

http://www.nus.edu.sg/oam/apply/catd/uee/paper.htm - syllabus & sample papers

http://www.nus.edu.sg/oam/apply/catd/uee/require.htm - requirements (untuk nge-cek paper mana yang harus diambil sehubungan dengan jurusan)

Thx ya Lyn.... :))

Yang mau ikut tes masuk NTU...

Bagi yang akan mengikuti tes masuk NTU (Nanyang Technological University - Singapore), silahkan mengunjungi link di bawah ini:

http://admissions.ntu.edu.sg/International/UndergraduateApplicants/afterapply/Pages/EntranceExamination.aspx

Terima kasih kepada Sdri. Evelyn Sanjaya (Kosayu 2008) yang telah memberi saya link tersebut.





Semoga bermanfaat...