I do not
want to change you
You know what
is best for you
much better than I..
I do not
want you to change me
I want you to
accept me and respect me
the way I am..
In this way
we can build
a strong relationship
based on reality
rather than a dream
Susan Polis Schutz
GURU??? Gajinya kecil gitu loh!!!
Itulah yang sering dibicarakan.
Rasanya… profesi guru begitu dekat dengan masalah gaji kecil.
Mungkin… hal itu membuat seorang guru menjadi minder.
Setidaknya… saya pun pernah mempunyai perasaan yang demikian.
Keinginan saya untuk menjadi guru sudah ada sejak kelas 1 SMA.
Entah mengapa… padahal di keluarga saya tak seorang pun menjadi guru.
Ketika di kelas kelas 1 SMA, guru kimia saya pernah bertanya kepada saya, “Nanti setelah lulus SMA kamu akan melanjutkan kemana?”
“Ke IKIP Malang (saat ini disebut Universitas Negeri Malang), Bu”.
“Hah??? Kamu mau jadi guru??? (dengan nada tidak percaya) Jadi guru apa?”.
“Guru matematika. Mengapa Bu?”.
Beliau terdiam sesaat, “Jadi guru gajinya kecil lho”.
“Ya saya tahu”.
“Tapi… ada kebahagiaan tersendiri menjadi seorang guru, yaitu ketika kita melihat dapat menerima dan mengerti apa yang kita berikan/ajarkan, dari tidak tahu menjadi tahu”.
Saat itu saya tidak mengerti apa yang dikatakan oleh guru saya.
Tetapi saat ini… saya merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang dirasakan oleh guru saya.
Beliau bernama Endang Purwani. Saya terus mengingatnya sampai sekarang, sayangnya… saya tak pernah bertemu dengan beliau lagi.
Terima kasih Bu Endang, atas bekal yang sudah diberikan kepada saya untuk menjadi seorang guru.
Ketika saya sedang kuliah di IKIP Malang jurusan pendidikan matematika, perasaan minder menjadi seorang guru tetap ada.
Pada suatu hari, dalam perjalanan dari Malang menuju Surabaya, saya duduk berdampingan dengan seorang pria yang lebih tua dari saya di dalam bus. Kami berbincang-bincang.
“Adik sekarang sedang sekolah, kuliah atau bekerja?”
“Saya sedang kuliah”
“Dimana?”
“Di IKIP Malang”
“Oh, mau jadi guru ya… jurusan apa?”
Begitu disebut guru, rasa minder langsung muncul.
“Ya… saya kuliah di jurusan pendidikan matematika”
“Dulu, sebelum masuk IKIP cita-citanya apa?”
“Sejak kelas 1 SMA saya ingin menjadi guru matematika”
“ANDA ORANG YANG SUKSES!”
Hah!!! Saya terperanjat.
“Mengapa saya dikatakan sukses?”
“Karena adik bisa mewujudkan cita-cita. Saya seorang insinyur, tapi saya bukan orang yang sukses, karena cita-cita saya sebenarnya menjadi seorang sarjana hukum. Orang tua yang menghendaki saya untuk menjadi seorang insinyur. Bagi saya, sukses bukan diukur dari berapa nilai materi yang dapat diperoleh, tetapi kesesuaian antara cita-cita dan hasil yang dicapai”.
Pembicaraan di bus itu membuat perubahan besar di dalam hidup saya.
Saat ini saya bersyukur telah menjadi seorang guru karena banyak hal.
Yang pasti… saya telah menjadi orang yang sukses dalam mewujudkan cita-cita dan lebih lagi … saya merasakan kebahagiaan menjadi seorang guru.
Sutiono Gunawan
Ditulis untuk PADMA
Edisi 19/Th.IX/Desember 2005
Rasanya… profesi guru begitu dekat dengan masalah gaji kecil.
Mungkin… hal itu membuat seorang guru menjadi minder.
Setidaknya… saya pun pernah mempunyai perasaan yang demikian.
Keinginan saya untuk menjadi guru sudah ada sejak kelas 1 SMA.
Entah mengapa… padahal di keluarga saya tak seorang pun menjadi guru.
Ketika di kelas kelas 1 SMA, guru kimia saya pernah bertanya kepada saya, “Nanti setelah lulus SMA kamu akan melanjutkan kemana?”
“Ke IKIP Malang (saat ini disebut Universitas Negeri Malang), Bu”.
“Hah??? Kamu mau jadi guru??? (dengan nada tidak percaya) Jadi guru apa?”.
“Guru matematika. Mengapa Bu?”.
Beliau terdiam sesaat, “Jadi guru gajinya kecil lho”.
“Ya saya tahu”.
“Tapi… ada kebahagiaan tersendiri menjadi seorang guru, yaitu ketika kita melihat dapat menerima dan mengerti apa yang kita berikan/ajarkan, dari tidak tahu menjadi tahu”.
Saat itu saya tidak mengerti apa yang dikatakan oleh guru saya.
Tetapi saat ini… saya merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang dirasakan oleh guru saya.
Beliau bernama Endang Purwani. Saya terus mengingatnya sampai sekarang, sayangnya… saya tak pernah bertemu dengan beliau lagi.
Terima kasih Bu Endang, atas bekal yang sudah diberikan kepada saya untuk menjadi seorang guru.
Ketika saya sedang kuliah di IKIP Malang jurusan pendidikan matematika, perasaan minder menjadi seorang guru tetap ada.
Pada suatu hari, dalam perjalanan dari Malang menuju Surabaya, saya duduk berdampingan dengan seorang pria yang lebih tua dari saya di dalam bus. Kami berbincang-bincang.
“Adik sekarang sedang sekolah, kuliah atau bekerja?”
“Saya sedang kuliah”
“Dimana?”
“Di IKIP Malang”
“Oh, mau jadi guru ya… jurusan apa?”
Begitu disebut guru, rasa minder langsung muncul.
“Ya… saya kuliah di jurusan pendidikan matematika”
“Dulu, sebelum masuk IKIP cita-citanya apa?”
“Sejak kelas 1 SMA saya ingin menjadi guru matematika”
“ANDA ORANG YANG SUKSES!”
Hah!!! Saya terperanjat.
“Mengapa saya dikatakan sukses?”
“Karena adik bisa mewujudkan cita-cita. Saya seorang insinyur, tapi saya bukan orang yang sukses, karena cita-cita saya sebenarnya menjadi seorang sarjana hukum. Orang tua yang menghendaki saya untuk menjadi seorang insinyur. Bagi saya, sukses bukan diukur dari berapa nilai materi yang dapat diperoleh, tetapi kesesuaian antara cita-cita dan hasil yang dicapai”.
Pembicaraan di bus itu membuat perubahan besar di dalam hidup saya.
Saat ini saya bersyukur telah menjadi seorang guru karena banyak hal.
Yang pasti… saya telah menjadi orang yang sukses dalam mewujudkan cita-cita dan lebih lagi … saya merasakan kebahagiaan menjadi seorang guru.
Sutiono Gunawan
Ditulis untuk PADMA
Edisi 19/Th.IX/Desember 2005