Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University.
Sesampainya disana sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.
"Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang pria lembut.
"Beliau hari ini sibuk," sahut sang Sekretaris cepat.
"Kami akan menunggu," jawab sang Wanita.
Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi.
Tetapi nyatanya tidak.
Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.
"Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi," katanya pada sang Pimpinan Harvard.
Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk.
Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka.
Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang di luar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul.
Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut.
Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini. bolehkah?" tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.
Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. "Nyonya," katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan."
"Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat,
"Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard."
Sang Pemimpin Harvard memutar matanya.
Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung? Kalian perlu memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."
Untuk beberapa saat sang wanita terdiam.
Sang Pemimpin Harvard senang.
Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang.
Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja ?"
Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan. Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi dipedulikan oleh Harvard.
Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.
Pesan Moral :
Kita, seperti pimpinan Harvard itu, acap silau oleh baju, dan lalai.
Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju-baju, acap menipu.
Gara-gara Lilin
Ny. O'Reilly sedang berjalan ketika berpapasan dengan Pastur O'Flannagan.
Pastur menyapa : " Hai Ny. O'Reilly... apakah dia suami anda..? Bukankah saya yang menikahkan kalian pada 5 tahun yang lalu?"
" Ya. Betul Pastur.. andalah yang menikahkan kami" , jawab NY. O'Reilly.
" Berapa anak anda sekarang ?", tanya Pastur
" Oh.. kami belum mempunyai anak hingga saat ini Pastur"
" Baiklah... kebetulan minggu depan aku akan pergi ke Roma, disana aku akan berdoa dan menyalakan sebuah lilin untukmu", kata Pastur.
Beberapa tahun kemudian...............
Pastur dan Ny. O'Reilly berpapasan lagi dijalan dan Pastur bertanya :
" Ny. O'Reilly apakah anda sudah memiliki anak...?"
" OooH .. sudah Pastur, kami memiliki tiga pasang anak kembar, dan 4 orang anak yang tidak kembar, jadi semuanya ada sepuluh orang", jawab Ny. O'Reilly tersipu.
" Woow.., bukankah itu sangat luar biasa! Lalu bagaimana keadaan suamimu?" tanya Pastur.
" Dia sedang pergi ke Roma Pastur " jawab Ny. O'Reilly.
"Ke Roma??? Ada urusan apa dia berangkat ke Roma?" tanya Pastur.
" Mematikan lilin yang pastur nyalakan " jawab Ny. O'Reilly.
Pastur menyapa : " Hai Ny. O'Reilly... apakah dia suami anda..? Bukankah saya yang menikahkan kalian pada 5 tahun yang lalu?"
" Ya. Betul Pastur.. andalah yang menikahkan kami" , jawab NY. O'Reilly.
" Berapa anak anda sekarang ?", tanya Pastur
" Oh.. kami belum mempunyai anak hingga saat ini Pastur"
" Baiklah... kebetulan minggu depan aku akan pergi ke Roma, disana aku akan berdoa dan menyalakan sebuah lilin untukmu", kata Pastur.
Beberapa tahun kemudian...............
Pastur dan Ny. O'Reilly berpapasan lagi dijalan dan Pastur bertanya :
" Ny. O'Reilly apakah anda sudah memiliki anak...?"
" OooH .. sudah Pastur, kami memiliki tiga pasang anak kembar, dan 4 orang anak yang tidak kembar, jadi semuanya ada sepuluh orang", jawab Ny. O'Reilly tersipu.
" Woow.., bukankah itu sangat luar biasa! Lalu bagaimana keadaan suamimu?" tanya Pastur.
" Dia sedang pergi ke Roma Pastur " jawab Ny. O'Reilly.
"Ke Roma??? Ada urusan apa dia berangkat ke Roma?" tanya Pastur.
" Mematikan lilin yang pastur nyalakan " jawab Ny. O'Reilly.
KISAH POHON APEL
Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.
Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya.
Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu.
Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.
Waktu terus berlalu.
Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.
Suatu hari ia mendatangi pohon apel.
Wajahnya tampak sedih.
"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.
"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu.
"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."
Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita.
Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi.
Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi.
Pohon apel sangat senang melihatnya datang.
"Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel.
"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu.
"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"
"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.
Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.
Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi.
Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi.
Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
"Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel.
"Aku sedih," kata anak lelaki itu.
"Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"
"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.
"Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."
"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu.
"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel.
"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu.
"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu.
Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki.
"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."
"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.
Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
Ini adalah cerita tentang kita semua.
Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita.
Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.
Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.
Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.
Cintailah orang tua kita.
Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.
Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya.
Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu.
Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.
Waktu terus berlalu.
Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.
Suatu hari ia mendatangi pohon apel.
Wajahnya tampak sedih.
"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.
"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu.
"Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."
Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita.
Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi.
Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi.
Pohon apel sangat senang melihatnya datang.
"Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel.
"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu.
"Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?"
"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.
Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.
Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi.
Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi.
Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
"Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel.
"Aku sedih," kata anak lelaki itu.
"Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"
"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.
"Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu."
"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu.
"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel.
"Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu.
"Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu.
Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki.
"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."
"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon.
Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
Ini adalah cerita tentang kita semua.
Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita.
Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan.
Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.
Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.
Cintailah orang tua kita.
Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.
POJOK KOSAYU
Kisah ini sungguh sejati.
Alkisah pada suatu pagi di depan pintu gerbang SMUK KOSAYU kira-kira jam 06.50 terjadilah tragedi ini.
Para siswa ramai berlalu lalang di depan pintu gerbang sekolah.
Ada yang buru-buru masuk karena PR belum dikerjakan, tapi ada yang buru-buru keluar ke toko untuk beli permen buat bekal di dalam kelas.
Mendadak terdengar suara benturan keras “BRAAAAK!!!!” berikutnya “GUUBRAAAAK!!!!”.
Waduh… ternyata ada sepeda motor yang ndelosor di depan pintu gerbang.
Selidik punya selidik, ini gara-gara si Atun yang ngawur buka pintu mobil, nggak lihat-lihat dulu… langsung main buka aja (ya kalau buka baju).
Akibatnya motor Bejo yang kesenggol pintu mobilnya Atun langsung ngguling dan Bejo-nya mencium bumi.
Udah gitu, dengan tanpa ekspresi si Atun cuma ngelihatin Bejo yang mringis-mringis nahan sakitnya luka di tangan dan muka.
Atun langsung mengambil tas kresek yang berisi buku-buku yang konon katanya berisi mantra-mantra yang bisa bikin orang jadi pinter, terus ngeloyor masuk ke sekolah.
Eh ya nggak minta maaf atau apa sama si Bejo.
Dasar Atun!
Kok ya pas Gimen lewat. “Lho Jo kamu kenapa?! Waduh muka dan tanganmu pada berdarah kayak gini, waduh… waduh… gimana nih… yak apa ini… diantar ke rumah sakit tah Jo?!”, kata Gimen dengan nada panik dan kebingungan karena melihat keadaan Bejo yang kayak gitu.
Belum sempat Bejo menjelaskan atau menjawab omongan Gimen, KRIIIIIING!!!!!! Bunyi bel tanda masuk kelas berdering.
Gimen tertegun mendengar bunyi bel itu, bagaikan mendengar bunyi genta di kuil Shaolin.
Langsung aja si Gimen teriak, “Waduh Jo, sek ya… aku masuk kelas dulu, udah bel nih! Nanti aku bisa kena TATIBSI!”, sambil lari ambil langkah seribu, tanpa mempedulikan Bejo yang terluka.
Kelakuanmu Men… Men…
Gerbang sekolah sudah sepi.
Tinggallah Bejo sendirian terbengong-bengong memikirkan nasibnya yang nggak bejo.
Owalaaa Jo, malang tenan nasibmu punya temen seng modele koyok ngono.
By. Sutiono Gunawan
Alkisah pada suatu pagi di depan pintu gerbang SMUK KOSAYU kira-kira jam 06.50 terjadilah tragedi ini.
Para siswa ramai berlalu lalang di depan pintu gerbang sekolah.
Ada yang buru-buru masuk karena PR belum dikerjakan, tapi ada yang buru-buru keluar ke toko untuk beli permen buat bekal di dalam kelas.
Mendadak terdengar suara benturan keras “BRAAAAK!!!!” berikutnya “GUUBRAAAAK!!!!”.
Waduh… ternyata ada sepeda motor yang ndelosor di depan pintu gerbang.
Selidik punya selidik, ini gara-gara si Atun yang ngawur buka pintu mobil, nggak lihat-lihat dulu… langsung main buka aja (ya kalau buka baju).
Akibatnya motor Bejo yang kesenggol pintu mobilnya Atun langsung ngguling dan Bejo-nya mencium bumi.
Udah gitu, dengan tanpa ekspresi si Atun cuma ngelihatin Bejo yang mringis-mringis nahan sakitnya luka di tangan dan muka.
Atun langsung mengambil tas kresek yang berisi buku-buku yang konon katanya berisi mantra-mantra yang bisa bikin orang jadi pinter, terus ngeloyor masuk ke sekolah.
Eh ya nggak minta maaf atau apa sama si Bejo.
Dasar Atun!
Kok ya pas Gimen lewat. “Lho Jo kamu kenapa?! Waduh muka dan tanganmu pada berdarah kayak gini, waduh… waduh… gimana nih… yak apa ini… diantar ke rumah sakit tah Jo?!”, kata Gimen dengan nada panik dan kebingungan karena melihat keadaan Bejo yang kayak gitu.
Belum sempat Bejo menjelaskan atau menjawab omongan Gimen, KRIIIIIING!!!!!! Bunyi bel tanda masuk kelas berdering.
Gimen tertegun mendengar bunyi bel itu, bagaikan mendengar bunyi genta di kuil Shaolin.
Langsung aja si Gimen teriak, “Waduh Jo, sek ya… aku masuk kelas dulu, udah bel nih! Nanti aku bisa kena TATIBSI!”, sambil lari ambil langkah seribu, tanpa mempedulikan Bejo yang terluka.
Kelakuanmu Men… Men…
Gerbang sekolah sudah sepi.
Tinggallah Bejo sendirian terbengong-bengong memikirkan nasibnya yang nggak bejo.
Owalaaa Jo, malang tenan nasibmu punya temen seng modele koyok ngono.
By. Sutiono Gunawan
Hidup ini sangat berharga
Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau.
Jack segera menekan pedal gas kendaraannya.
Ia tak mau terlambat.
Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama.
Kebetulan jalan di depannya agak lengang.
Lampu berganti kuning.
Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera.
Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala.
Jack bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja.
"Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil terus melaju.
Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti.
Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati.
Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu.
Hati Jack agak lega.
Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
"Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!"
"Hai, Jack." Tanpa senyum.
"Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah."
"Oh ya?" Tampaknya Bob agak ragu.
Nah, bagus kalau begitu. "Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong."
"Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini."
O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.
"Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala."
Aha... terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
"Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu."
Dengan ketus Jack menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya.
Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya.
Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela.
Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa.
Dibukanya kaca jendela itu sedikit.
Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang.
Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.
Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela.
Tapi, hei apa ini.
Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota.
Kenapa ia tidak menilangku.
Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa?
Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.
"Dear Jack,
Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan.
Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah.
Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan.
Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi.
Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada.
Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.
Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu.
Betapa sulitnya.
Begitu juga kali ini.
Maafkan aku Jack.
Doakan agar permohonan kami terkabulkan.
Berhati-hatilah.
Salam,
Bob"
Jack terhenyak.
Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob.
Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana.
Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain.
Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita.
Hidup ini sangat berharga,
Jalanilah dengan penuh hati-hati...
Jack segera menekan pedal gas kendaraannya.
Ia tak mau terlambat.
Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama.
Kebetulan jalan di depannya agak lengang.
Lampu berganti kuning.
Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera.
Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala.
Jack bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja.
"Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil terus melaju.
Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti.
Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati.
Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu.
Hati Jack agak lega.
Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
"Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!"
"Hai, Jack." Tanpa senyum.
"Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah."
"Oh ya?" Tampaknya Bob agak ragu.
Nah, bagus kalau begitu. "Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong."
"Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini."
O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.
"Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala."
Aha... terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
"Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu."
Dengan ketus Jack menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya.
Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya.
Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela.
Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa.
Dibukanya kaca jendela itu sedikit.
Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang.
Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.
Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela.
Tapi, hei apa ini.
Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota.
Kenapa ia tidak menilangku.
Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa?
Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.
"Dear Jack,
Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan.
Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah.
Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan.
Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi.
Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada.
Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.
Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu.
Betapa sulitnya.
Begitu juga kali ini.
Maafkan aku Jack.
Doakan agar permohonan kami terkabulkan.
Berhati-hatilah.
Salam,
Bob"
Jack terhenyak.
Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob.
Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana.
Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain.
Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita.
Hidup ini sangat berharga,
Jalanilah dengan penuh hati-hati...
Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak...
Konon pada jaman dahulu, di Jepang ada semacam kebiasaan untuk membuang orang lanjut usia ke hutan. Mereka yang sudah lemah tak berdaya dibawa ke tengah hutan yang lebat, dan selanjutnya tidak diketahui lagi nasibnya.
Alkisah ada seorang anak yang membawa orang tuanya (seorang wanita tua) ke hutan untuk dibuang. Ibu ini sudah sangat tua, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Si anak laki-laki ini menggendong ibu ini sampai ke tengah hutan. Selama dalam perjalanan, si ibu mematahkan ranting-ranting kecil. Setelah sampai di tengah hutan, si anak menurunkan ibu ini.
"Bu, kita sudah sampai",kata si anak. Ada perasaan sedih di hati si anak. Entah kenapa dia tega melakukannya.
Si ibu , dengan tatapan penuh kasih berkata:"Nak, Ibu sangat mengasihi dan mencintaimu. Sejak kamu kecil, Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang ibu miliki dengan tulus. Dan sampai detik ini pun kasih sayang dan cinta itu tidak berkurang.
Nak, Ibu tidak ingin kamu nanti pulang tersesat dan mendapat celaka di jalan. Makanya ibu tadi mematahkan ranting-ranting pohon, agar bisa kamu jadikan petunjuk jalan".
Demi mendengar kata-kata ibunya tadi, hancurlah hati si anak. Dia peluk ibunya erat-erat sambil menangis. Dia membawa kembali ibunya pulang, dan ,merawatnya dengan baik sampai ibunya meninggal dunia.
Mungkin cerita diatas hanya dongeng. Tapi di jaman sekarang, tak sedikit kita jumpai kejadian yang mirip cerita diatas. Banyak manula yang terabaikan, entah karena anak-anaknya sibuk bisnis dll. Orang tua terpinggirkan, dan hidup kesepian hingga ajal tiba. kadang hanya dimasukkan panti jompo, dan ditengok jkalau ada waktu saja.
Kiranya cerita diatas bisa membuka mata hati kita, untuk bisa mencintai orang tua dan manula. Mereka justru butuh perhatian lebih dari kita, disaat mereka menunggu waktu dipanggil Tuhan yang maha kuasa. Ingatlah perjuangan mereka pada waktu mereka muda, membesarkan kita dengan penuh kasih sayang, membekali kita hingga menjadi seperti sekarang ini.
Alkisah ada seorang anak yang membawa orang tuanya (seorang wanita tua) ke hutan untuk dibuang. Ibu ini sudah sangat tua, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Si anak laki-laki ini menggendong ibu ini sampai ke tengah hutan. Selama dalam perjalanan, si ibu mematahkan ranting-ranting kecil. Setelah sampai di tengah hutan, si anak menurunkan ibu ini.
"Bu, kita sudah sampai",kata si anak. Ada perasaan sedih di hati si anak. Entah kenapa dia tega melakukannya.
Si ibu , dengan tatapan penuh kasih berkata:"Nak, Ibu sangat mengasihi dan mencintaimu. Sejak kamu kecil, Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang ibu miliki dengan tulus. Dan sampai detik ini pun kasih sayang dan cinta itu tidak berkurang.
Nak, Ibu tidak ingin kamu nanti pulang tersesat dan mendapat celaka di jalan. Makanya ibu tadi mematahkan ranting-ranting pohon, agar bisa kamu jadikan petunjuk jalan".
Demi mendengar kata-kata ibunya tadi, hancurlah hati si anak. Dia peluk ibunya erat-erat sambil menangis. Dia membawa kembali ibunya pulang, dan ,merawatnya dengan baik sampai ibunya meninggal dunia.
Mungkin cerita diatas hanya dongeng. Tapi di jaman sekarang, tak sedikit kita jumpai kejadian yang mirip cerita diatas. Banyak manula yang terabaikan, entah karena anak-anaknya sibuk bisnis dll. Orang tua terpinggirkan, dan hidup kesepian hingga ajal tiba. kadang hanya dimasukkan panti jompo, dan ditengok jkalau ada waktu saja.
Kiranya cerita diatas bisa membuka mata hati kita, untuk bisa mencintai orang tua dan manula. Mereka justru butuh perhatian lebih dari kita, disaat mereka menunggu waktu dipanggil Tuhan yang maha kuasa. Ingatlah perjuangan mereka pada waktu mereka muda, membesarkan kita dengan penuh kasih sayang, membekali kita hingga menjadi seperti sekarang ini.
Tersenyum
Saya adalah ibu tiga orang anak (umur 14, 12, dan 3 tahun) dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya. Tugas terakhir yang diberikannya diberi nama "Tersenyum". Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan tersenyum kepada tiga orang dan mendokumentasikan reaksi mereka. Saya adalah seorang yang mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang dan mengatakan "hello", jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah.
Segera setelah kami menerima tugas tsb, suami saya,anak bungsu saya, dan saya pergi ke restoran
McDonald's pada suatu pagi di bulan Maret yang sangat dingin dan kering. Ini adalah salah satu cara kami
dalam antrian, menunggu untuk dilayani, ketika mendadak setiap orang di sekitar kami mulai
menyingkir, dan bahkan kemudian suami saya ikut menyingkir.Saya tidak bergerak sama sekali...
suatu perasaan panik menguasai diri saya ketika saya berbalik untuk melihat mengapa mereka semua menyingkir.
Ketika berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang sangat menyengat, dan berdiri di belakang saya dua orang lelaki tunawisma. Ketika saya menunduk melihat laki-laki yang lebih pendek, yang dekat dengan saya, ia sedang "tersenyum". Matanya yang biru langit indah penuh dengan cahaya Tuhan ketika ia minta untuk dapat diterima. Ia berkata "Good day" sambil menghitung beberapa koin yang telah ia kumpulkan. Lelaki yang kedua memainkan tangannya dengan gerakan aneh sambil berdiri di belakang temannya.
Saya menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental dan lelaki dengan mata biru itu adalah penolongnya. Saya menahan haru ketika berdiri di sana bersama mereka.
Wanita muda di counter menanyai lelaki itu apa yang mereka inginkan. Ia berkata, "Kopi saja, Nona" karena hanya itulah yang mampu mereka beli. (Jika mereka ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh mereka, mereka harus membeli sesuatu. Ia hanya ingin menghangatkan badan). Kemudian saya benar-benar merasakannya - desakan itu sedemikian kuat sehingga saya hampir saja merengkuh dan memeluk lelaki kecil bermata biru itu. Hal itu terjadi bersamaan dengan ketika saya menyadari bahwa semua mata di restoran menatap saya, menilai semua tindakan saya.
Saya tersenyum dan berkata pada wanita di belakang counter untuk memberikan saya dua paket makan pagi lagi dalam nampan terpisah. Kemudian saya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu sebagai tempat istirahatnya. Saya meletakkan nampan itu ke atas meja dan meletakkan tangan saya di atas tangan dingin lelaki bemata biru itu.
Ia melihat ke arah saya, dengan air mata berlinang, dan berkata "Terima kasih." Saya meluruskan badan dan mulai menepuk tangannya dan berkata, "Saya tidak melakukannya untukmu. Tuhan berada di sini bekerja melalui diriku untuk memberimu harapan."
Saya mulai menangis ketika saya berjalan meninggalkannya dan bergabung dengan suami dan anak saya. Ketika saya duduk suami saya tersenyum kepada saya dan berkata, "Itulah sebabnya mengapa Tuhan memberikan kamu kepadaku, Sayang. Untuk memberiku harapan." Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan pada saat itu kami tahu bahwa hanya karena Kasih Tuhan kami diberikan apa yang dapat kami berikan untuk orang lain.
Hari itu menunjukkan kepadaku cahaya kasih Tuhan yang murni dan indah. Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah, dengan cerita ini ditangan saya. Saya menyerahkan "proyek" saya dan dosen saya membacanya. Kemudian ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkan saya membagikan ceritamu kepada yang lain?" Saya mengangguk pelahan dan ia kemudian meminta perhatian dari kelas. Ia mulai membaca dan saat itu saya tahu bahwa kami, sebagai manusia dan bagian dari Tuhan, membagikan pengalaman ini untuk menyembuhkan dan untuk disembuhkan..
Dengan caraNya sendiri, Tuhan memakai saya untuk menyentuh orang-orang yang ada diMcDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap jiwa yang menghadiri ruang kelas di malam terakhir saya sebagai mahasiswi.. Saya lulus dengan satu pelajaran terbesar yang pernah saya pelajari: PENERIMAAN YANG TAK BERSYARAT.
Banyak cinta dan kasih sayang yang dikirimkan kepada setiap orang yang mungkin membaca cerita ini dan mempelajari bagaimana untuk MENCINTAI SESAMA DAN MEMANFAATKAN BENDA-BENDA BUKANNYA MENCINTAI BENDA DAN MEMANFAATKAN SESAMA.
Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh anda dengan cara apapun, tolong kirimkan cerita ini kepada setiap orang yang anda kenal. Disini ada seorang malaikat yang dikirimkan untuk mengawasi anda. Supaya malaikat itu bisa bekerja, anda harus menyampaikan cerita ini pada orang-orang yang ingin anda awasi. Seorang malaikat menulis: Banyak orang akan datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya sahabat2 sejati yang akan meninggalkan jejak di dalam hatimu. Untuk menangani dirimu, gunakan kepalamu. Tetapi untuk menangani orang lain, gunakan hatimu.
Tuhan memberikan kepada setiap burung makanan mereka, tetapi Ia tidak melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka. Ia yang kehilangan uang, kehilangan banyak; Ia yang kehilangan seorang teman, kehilangan lebih banyak; tetapi ia yang kehilangan keyakinan, kehilangan semuanya. Orang-orang muda yang cantik adalah hasil kerja alam, tetapi orang-orang tua yang cantik adalah hasil karya seni. Belajarlah dari kesalahan orang lain. Engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk mendapatkan semua itu dari dirimu sendiri.
Segera setelah kami menerima tugas tsb, suami saya,anak bungsu saya, dan saya pergi ke restoran
McDonald's pada suatu pagi di bulan Maret yang sangat dingin dan kering. Ini adalah salah satu cara kami
dalam antrian, menunggu untuk dilayani, ketika mendadak setiap orang di sekitar kami mulai
menyingkir, dan bahkan kemudian suami saya ikut menyingkir.Saya tidak bergerak sama sekali...
suatu perasaan panik menguasai diri saya ketika saya berbalik untuk melihat mengapa mereka semua menyingkir.
Ketika berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang sangat menyengat, dan berdiri di belakang saya dua orang lelaki tunawisma. Ketika saya menunduk melihat laki-laki yang lebih pendek, yang dekat dengan saya, ia sedang "tersenyum". Matanya yang biru langit indah penuh dengan cahaya Tuhan ketika ia minta untuk dapat diterima. Ia berkata "Good day" sambil menghitung beberapa koin yang telah ia kumpulkan. Lelaki yang kedua memainkan tangannya dengan gerakan aneh sambil berdiri di belakang temannya.
Saya menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental dan lelaki dengan mata biru itu adalah penolongnya. Saya menahan haru ketika berdiri di sana bersama mereka.
Wanita muda di counter menanyai lelaki itu apa yang mereka inginkan. Ia berkata, "Kopi saja, Nona" karena hanya itulah yang mampu mereka beli. (Jika mereka ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh mereka, mereka harus membeli sesuatu. Ia hanya ingin menghangatkan badan). Kemudian saya benar-benar merasakannya - desakan itu sedemikian kuat sehingga saya hampir saja merengkuh dan memeluk lelaki kecil bermata biru itu. Hal itu terjadi bersamaan dengan ketika saya menyadari bahwa semua mata di restoran menatap saya, menilai semua tindakan saya.
Saya tersenyum dan berkata pada wanita di belakang counter untuk memberikan saya dua paket makan pagi lagi dalam nampan terpisah. Kemudian saya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu sebagai tempat istirahatnya. Saya meletakkan nampan itu ke atas meja dan meletakkan tangan saya di atas tangan dingin lelaki bemata biru itu.
Ia melihat ke arah saya, dengan air mata berlinang, dan berkata "Terima kasih." Saya meluruskan badan dan mulai menepuk tangannya dan berkata, "Saya tidak melakukannya untukmu. Tuhan berada di sini bekerja melalui diriku untuk memberimu harapan."
Saya mulai menangis ketika saya berjalan meninggalkannya dan bergabung dengan suami dan anak saya. Ketika saya duduk suami saya tersenyum kepada saya dan berkata, "Itulah sebabnya mengapa Tuhan memberikan kamu kepadaku, Sayang. Untuk memberiku harapan." Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan pada saat itu kami tahu bahwa hanya karena Kasih Tuhan kami diberikan apa yang dapat kami berikan untuk orang lain.
Hari itu menunjukkan kepadaku cahaya kasih Tuhan yang murni dan indah. Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah, dengan cerita ini ditangan saya. Saya menyerahkan "proyek" saya dan dosen saya membacanya. Kemudian ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkan saya membagikan ceritamu kepada yang lain?" Saya mengangguk pelahan dan ia kemudian meminta perhatian dari kelas. Ia mulai membaca dan saat itu saya tahu bahwa kami, sebagai manusia dan bagian dari Tuhan, membagikan pengalaman ini untuk menyembuhkan dan untuk disembuhkan..
Dengan caraNya sendiri, Tuhan memakai saya untuk menyentuh orang-orang yang ada diMcDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap jiwa yang menghadiri ruang kelas di malam terakhir saya sebagai mahasiswi.. Saya lulus dengan satu pelajaran terbesar yang pernah saya pelajari: PENERIMAAN YANG TAK BERSYARAT.
Banyak cinta dan kasih sayang yang dikirimkan kepada setiap orang yang mungkin membaca cerita ini dan mempelajari bagaimana untuk MENCINTAI SESAMA DAN MEMANFAATKAN BENDA-BENDA BUKANNYA MENCINTAI BENDA DAN MEMANFAATKAN SESAMA.
Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh anda dengan cara apapun, tolong kirimkan cerita ini kepada setiap orang yang anda kenal. Disini ada seorang malaikat yang dikirimkan untuk mengawasi anda. Supaya malaikat itu bisa bekerja, anda harus menyampaikan cerita ini pada orang-orang yang ingin anda awasi. Seorang malaikat menulis: Banyak orang akan datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya sahabat2 sejati yang akan meninggalkan jejak di dalam hatimu. Untuk menangani dirimu, gunakan kepalamu. Tetapi untuk menangani orang lain, gunakan hatimu.
Tuhan memberikan kepada setiap burung makanan mereka, tetapi Ia tidak melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka. Ia yang kehilangan uang, kehilangan banyak; Ia yang kehilangan seorang teman, kehilangan lebih banyak; tetapi ia yang kehilangan keyakinan, kehilangan semuanya. Orang-orang muda yang cantik adalah hasil kerja alam, tetapi orang-orang tua yang cantik adalah hasil karya seni. Belajarlah dari kesalahan orang lain. Engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk mendapatkan semua itu dari dirimu sendiri.